Rabu, 25 Maret 2009

Terlibat Penipuan, Caleg Demokrat Ditahan  

0 komentar


Caleg demokrat ditahan karena dilaporkan terlibat aksi penipuan tender proyek. VIVAnews - Seorang calon anggota legislatif DPRD Kabupaten Lampung Selatan dari Partai Demokrat ditangkap polisi, karena dilaporkan terlibat aksi penipuan tender proyek.Calon Legislator Daerah pilihan Sidomulyo nomor urut 6 ini bernama Alimudin caleg DPRD di Kabupaten Lampung Selatan terpaksa berurusan dengan polisi.

Sebab, pria berusia 30 tahun ini dilaporkan telah menipu Zainal sebesar Rp 150 juta rupiah, dengan modus, kalau pelaku menjanjikan tender proyek pembangunan empat buah ruko.

"Awalnya polisi sudah memanggil Alimudin sebagai saksi sebanyak tiga kali. Tetapi, karena dugaan semakian kuat statusnya ditingkatkan menjadi tersangka," kata Kasat Reskrim Poltabes Bandar Lampung Selatan, Kompol Namora Simanjuntak, Kamis 12 Maret 2009.

Jika terbukti bersalah, Alimudin dikenai pasal 378 tentang penipuan dengan ancaman hukuman maksimal tujuh tahun penjara.

Ditangkapnya Alimudin semakin menambah panjang daftar calon anggota legislatif di Provinsi Lampung yang tersangkut masalah hukum.

Sebelumnya, dua calon anggota legislatif dari partai pemuda Indonesia ditangkap satuan KPP3 Pelabuhan Bakauheni karena menjadi kurir ganja, dan kasus ini masih ditangani Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung.

Laporan: Febriyanto Ponahan | Bandar Lampung
Selengkapnya...

Caleg Demokrat Dibekuk Polisi  

0 komentar


Rabu, 18 Maret 2009, 14:48 WIB
Terlibat korupsi proyek Komunitas Adat Terpencil (KAT) sebesar Rp408 juta

Abdul Aziz Salim Sabibie, calon legislatif DPRD Sumenep dari Partai Demokrat (PD), Rabu (18/3) ditangkap polisi sekitar pukul 12.30, di rumahnya di Perumahan Bumi Sumekar.Caleg Demokrat yang juga Direktur CV Samudera Bersatu Abdul Aziz Salim Sabibie, digelandang ke Mapolres Sumenep terkait dugaan korupsi proyek Komunitas Adat Terpencil (KAT) tahun anggaran 2005 di Desa Gelaman, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean.

Setelah menjalani pemeriksaan oleh tim penyidik pidkor (pidana korupsi), akhirnya, sekretaris DPD Partai Demokrat Sumenep ini ditetapakn sebagai tersangka dan harus mendekam di baik jeruji Mapolres Sumenep.

Polisi menetapkan Azis tersangka, karena yang bersangkutan sebagai direktur CV Samudera Bersatu yang mengerjakan proyek KAT di Kangean.

Dari Hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Jawa Timur, Azis diduga melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan negara sebesar Rp 408 juta.

Tersangka diduga korupsi untuk memperkaya diri. Selain itu, dana yang seharusnya sampai kepada masyarakat diduga tidak disalurkan.

Dana proyek KAT yang dikucurkan di Sumenep pada 2005 lalu sebesar Rp 1,2 miliar, dari Dinas Kesos Pemprov Jatim. Dari total dana, Rp 857 juta dikerjakan oleh CV Samudera Bersatu.
Berdasarkan audit BPKP, Rp 408 juta diduga dikorupsi.

Kasat Reskrim Polres Sumenep AKP Mualimin mengatakan, penahanan Azis dilakukan karena tersangka dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan melakukan kesalahan serupa.

"Kami berharap kasus ini segera tuntas. Karena itu, kami menahan tersangka. Jadi, penahanan itu demi kepentingan penyidikan," ujarnya, Rabu (18/3).

Mualimin mengungkapkan, dari hasil penyidikan, tersangka diduga melakukan penyimpangan program KAT berupa pengadaan barang dan penggunaan uang proyek.

Polres telah menyelidiki kasus ini sejak 2006 lalu. Sejumlah saksi telah diperiksa.. Baik dari pejabat Pemkab Sumenep dan Pemprov Jatim, serta warga yang menerima bantuan.

Dalam kasus ini, tersangka dijerat pasal 2 jo pasal 3 ayat 1 UU No. 31/1999 sebagai mana diubah UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara. (Hrs


Selengkapnya...

Caleg PDIP Jadi Tersangka Pencabulan  

0 komentar

Gorontalo (ANTARA News) - Seorang calon legislatif (caleg) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Semihart Wagiyu (42), ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencabulan terhadap seorang anak berinisial DR (12).Caleg daerah pemilihan Kabupaten Boalemo nomor urut enam tersebut, melakukan aksinya di sebuah kebun, di Desa Motoduto, Kecamatan Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo saat korban sedang menggembala kambing.

"Awalnya om itu hanya minta dicabut ubannya, kemudian lama-lama mulai melucuti kaos dan meraba serta menciumi saya," ujar korban, Rabu.

Menurut dia, sang pelaku yang kini mendekam di Polsek Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo itu sempat mengancam agar tak membeberkan perilaku asusilanya kepada siapapun, terutama keluarga korban.

Keluarga korban menegaskan akan menuntut sang pelaku yang juga sedang menjabat sebagai Kepala Desa itu untuk dihukum seberat-beratnya, terlebih saat mengetahui korban mengalami trauma setelah kejadian tersebut.

Sementara itu, tersangka membantah telah melakukan pencabulan terhadap DR, meski mengakui telah menciumi korban di sebuah dangau.

"Saya memang mencium dia karena gemas melihat cara bicaranya yang polos, saya menganggapnya anak sendiri dan tak ada nafsu birahi," ujar tersangka yang juga Ketua LSM di Kabupaten Boalemo tersebut.

Ia merasa dijebak oleh oknum tertentu, yang kebetulan sedang bermasalah dengan dirinya sehingga ingin merusak reputasi sang caleg menjelang Pemilu.

Kapolsek Boliyohuto, AKP Hamzah Payu, mengatakan tersangka dapat dijerat dengan pasal berlapis yakni pasal 287 KUHP terkait pencabulan serta Undang-undang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara 15 tahun.(*)
Selengkapnya...

Caleg PDIP Diduga Tertangkap Nyimeng  

0 komentar


Jum'at, 20 Maret 2009 - 19:01 wib
K. Yudha Wirakusuma - Okezone

JAKARTA - Dalam sebuah razia di Hotel Maharaja, Jakarta, polisi berhasil mengamankan tiga orang yang tengah memakai narkoba. Salah satu pelaku diduga caleg Partai Demorkasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dari daerah pemilihan Jawa Tengah.(ded)

"Pelaku inisialnya AL, caleg DPRD Kabupaten Rumbai Pekanbaru. Bersama dengan dua rekannya TT dan PA. Sekarang ditahan di Polres Jakarta Selatan. Saya nggak mau tau dia caleg atau siapa, yang penting saat itu saya tangkap dia," jelas Kasat Narkoba Polres Jakarta Selatan Kompol Doni Rahmawan di kantornya, Jumat (20/3/2009).

Memang Doni tidak mau memastikan apakah AL merupakan caleg PDIP atau bukan. Namun menurut sumber di kepolisian, dipastikan AL berasal dari partai berlambang banteng moncong putih.

Dikatakannya, penggerebekan dilakukan Kamis dini hari di Hotel Maharaja, Jakarta Selatan, di kamar 647 dan 649. Menurut Doni, ditemukan barang bukti seberat 12,2 gram dan 4,6 gram ganja kering.

Di tempat yang sama Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Firman Santyabudi membenarkan penangkapan tersebut. Namun dia membantah salah satu pelaku adalah caleg.

"Yang saya tahu ada orang yang tertangkap mengisap ganja tiga orang. Saya tidak tahu, tapi kita tetap menggunakan asas praduga tak beraslah," Firman.

Beredar kabar, Celeg PDIP tersebut bernama Anto Rusli. Anto juga sempat ditahan karena kasus yang sama di Polsek Pasar Minggu pada 2005 silam.
Selengkapnya...

Senin, 09 Maret 2009

Isu Korupsi Coreng Muka Demokrat  

0 komentar


(inilah.com/ Raya Abdullah)

INILAH.COM, Jakarta – Iklan politik Partai Demokrat yang menggemakan semangat 'Katakan Tidak! pada Korupsi' bakal kehilangan arti. Ini karena munculnya skandal korupsi yang diduga melibatkan kadernya, Jhonny Allen Marbun dan Marzuli Ali. Isu korupsi akan mencoreng Demokrat.Maka, salah satu cara untuk menentukan hitam-putih (orang-orang) Partai Demokrat adalah dengan mendesak Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) mengusut tuntas kasus korupsi proyek Rp 100 miliar ini. Agar kasus ini tak jadi mainan para politisi menjelang hajat politik penting dua bulan ke depan.

Pengusutan penting karena pedang pejuang antikorupsi sudah digulirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Ironisnya, giliran Allen Marbun sendiri yang kini dibidik KPK karena perkara yang sama. Isu korupsi juga menimpa Marzuki Alie, Sekjen Partai Demokrat.

"KPK harus mengusut tuntas skandal korupsi ini," kata Ibrahim Fahmi Badoh dari ICW.

Bola panas kini memang menerjang Partai Demokrat setelah sebelumnya menghantam Partai Amanat Nasional akibat korupsi oleh politisi PAN, Abdul Hadi Djamal. Kini giliran Partai Demokrat tercoreng dan mempersilakan KPK untuk mengusut kadernya, Jhonny Allen Marbun dan Marzuki Alie dalam kasus yang lain.

Menurut keterangan Wakil Ketua KPK M Jasin, dalam pemeriksaan, Abdul Hadi mengaku pernah memberikan uang Rp 1 miliar kepada Jhonny Allen Marbun pada 27 Februari 2009. Jadi, masih hangat kejadiannya.

Seperti diketahui, Abdul Hadi tertangkap tangan setelah diduga menerima suap senilai USD 90 ribu (sekitar Rp 1 miliar) dan Rp 54,5 juta dari Hontjo Kurniawan, seorang pengusaha. KPK menduga anggota DPR dari PAN itu juga menerima Rp 2 miliar.

Bahkan, pada 27 Februari lalu, ditengarai ada penyerahan uang Rp 1 miliar ke kantong Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR, Jhony Allen Marbun. Tentu saja, Allen Marbun membantah. Tapi dia tak bisa mengelak dari pemeriksaan KPK yang mengincar skandalnya. Skandal ini melibatkan aparat Bagian Tata Usaha Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan Darmawati.

Ketua Fraksi Partai Demokrat Syarif Hasan mendukung KPK untuk mengusut tuntas skandal politisi PD itu. Fraksi Demokrat sudah memanggil Jhonny, namun belum memanggi Marzuki Alie.

Jhonny secara sepihak mengelak dan menyatakan kasus Abdul Hadi merupakan urusan komisi. Dirinya mengaku tidak tahu-menahu. “Untuk itu, kami serahkan dan dukung KPK untuk mengusut,” kata Syarif.

Belum jeranya politisi dan pejabat melakukan korupsi lebih disebabkan bahwa politik tidak dilihat sebagai sarana untuk mengabdi pada negara dan masyarakat. Politisi, entah itu anggota legislatif atau calon anggota legislatif, menggunakan arena politik sebagai bagian dari ladang rezeki untuk memperkaya diri.

Para analis melihat, korupsi makin sulit diberantas karena ada kesan tebang pilih dan koruptor yang lemah dukungan politiknya, yang dibersihkan. Ini jelas tak adil dan tak akuntabel. Skandal proyek Rp 100 miliar yang melibatkan kader PAN dan PD itu menjadi sorotan rakyat serta mencederai pemerintahan SBY dan Partai Demokrat yang berkuasa.

Kasus ini lebih ironis lagi karena di layar televisi, Partai Demokrat hampir setiap hari muncul meneriakkan slogan: katakan tidak, untuk korupsi. Karena itu, jika saja ada kadernya yang kemudian terbukti korupsi, mungkin bisa pula muncul iklan seperti ini: katakan tidak kepada partai yang kadernya korupsi! [I4]



Selengkapnya...

Dua Anggota DPR Diduga Terima Gratifikasi Haji  

0 komentar



kompas/Jumat, 30 Januari 2009, 14.32 WIB
Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan 2 Anggota DPR komisi VIII ke Badan Kehormatan karena diduga telah menerima dana Gratifikasi sebesar 25 juta rupiah saat menjalankan kunjungan dinas memantau pelaksanaa haji tahun 2005 lalu.

Menurut Kordinator Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Emerson Yuntho kedua politisi itu diduga telah melanggar Pasal tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu, keduanya juga diduga ikut menerima duit Rp 500 juta sebagai uang insentif dalam rangka penyusunan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2006.

Terkait laporan tersebut, Badan Kehormatan (BK) DPR berjanji akan melakukan pemanggilan 2 wakil rakyat untuk dimintai keterangan. Kedua anggota Dewan ini yaitu Djulkarnain Jabar yang berasal dari Fraksi Golkar dan Said Abdulah dari PDIP.
Selengkapnya...

Rabu, 04 Maret 2009

KPK Tahan Abdul Hadi Djamal  

0 komentar


JAKARTA--MI: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu dini hari, menahan anggota DPR Abdul Hadi Djamal Poltisi senior dari PAN,karena diduga menerima uang terkait proyek pembangunan dermaga di wilayah timur Indonesia. KPK juga menahan pegawai Departemen Perhubungan Darmawati dan Komisaris PT Kurnia Jaya Wira Bakti, Hontjo Kurniawan.

Ketiga orang itu dimasukkan ke dalam dua mobil tahanan KPK bernomor polisi B 8638 WU dan B 8593 WU sekitar pukul 00.00 WIB. Mereka akan dititipkan di rumah tahanan Cipinang, Jakarta Timur dan rumah tahanan wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Abdul Hadi Djamal yang mengenakan kemeja batik warna coklat tidak mau menjelaskan panjang lebar tentang kasus yang menjeratnya. "Bukan untuk saya, bukan untuk partai saya," katanya singkat menjelaskan tentang uang yang ditemukan KPK saat penangkapan.

KPK menangkap Abdul Hadi Djamal, pegawai Departemen Perhubungan Darmawati, dan pengusaha Hontjo Kurniawan. Dalam penangkapan, KPK menemukan bukti uang 90 ribu dolar AS dan Rp54 juta. KPK menggunakan pasal 5 atau 11 atau 12 a atau 12 b UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat ketiga orang tersebut. Ketua KPK Antasari Azhar mengatakan, uang yang ditemukan dalam penangkapan diduga terkait dengan pembangunan dermaga di wilayah timur Indonesia.

"Diduga uang itu dalam rangka percepatan pembangunan dermaga di wilayah Indonesia timur," kata Antasari. Menurut Antasari, proyek dermaga itu bernama Program Lanjutan Pembangunan Fasilitas Laut dan Bandara. Proyek tersebut bernilai Rp100 miliar. (Ant/OL-03)/media indonesia
Selengkapnya...

Kejati Sulteng Geledah Kantor Partai Demokrat  

0 komentar


Metrotvnews.com, Palu: Tim penyidik tindak pidana korupsi Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, Kamis (26/2) kemarin, menggeledah kantor Perusahaan Daerah (PD) Sulawesi Tengah. Jaksa menyita 20 dokumen terkait dugaan korupsi pungutan terhadap perusahaan pengolahan kayu eboni.

Penggeledahan berlangsung selama tiga jam di kantor PD Sulawesi Tengah di Jalan Sulawesi, Kota Palu. Pungutan terhadap perusahaan pengolahan kayu eboni sendiri diperkirakan merugikan negara miliaran rupiah.

Tim jaksa menyita berkas tahun 2007 hingga 2008. Saat itu pungutan resmi untuk setiap kubik kayu eboni sebesar Rp 2,5 juta. Namun dalam realisasinya, setiap perusahaan swasta menyetor lebih dari jumlah tersebut.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulteng Edwin Binti mengatakan, kejaksaan sudah menetapkan satu tersangka yang namanya masih dirahasiakan. Kasus ini terungkap setelah adanya laporan masyarakat, terkait pungutan yang tidak sesuai dengan SK Gubernur Sulteng.(RIZ)

Selengkapnya...

Kamis, 19 Februari 2009

Anggota DPRD Kukar Dituntut Enam Tahun Penjara  

0 komentar

By Republika Newsroom
Kamis, 19 Februari 2009 pukul 12:13:00

JAKARTA -- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Kartanegara dari F.P.Golkar, Setia Budi, dituntut jaksa penuntut umum (JPU), enam tahun penjara. Selain itu, Setia dituntut membayar denda Rp 250 juta dan wajib membayar uang pengganti Rp 1,17 miliar.
"Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi dana bantuan sosial APBD Kutai Kartanegara," kata Ketua JPU, Zet Tadung Alo, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (19/2).

JPU sebelumnya mendakwa Setia telah memerkaya diri sendiri atau orang lain dengan mencairkan dan menggunakan dana pos bantuan sosial pada APBD tahun 2005 dan 2006. Jaksa menyatakan terdakwa telah menandatangani sejumlah dokumen yang diduga berupa proposal fiktif. Tindakan terdakwa menikmati uang bantuan sosial Rp 11,2 miliar telah mengakibatkan negara dirugikan hingga Rp 29 miliar.

Sikap terdakwa yang berbelit-belit di persidangan dan tindakan terdakwa yang telah merusak citra DPR menjadi hal-hal yang memberatkan. Kuat dugaan dokumen itu digunakan untuk menutupi pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sebelumnya, untuk kasus yang sama, JPU telah menuntut pelaksana tugas (Plt) nonaktif Bupati Kutai Kertanegara, Samsuri Aspar, lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta. Samsuri diduga menikmati uang dari dana bantuan sosial Rp 1,8 miliar. dri/ism
Selengkapnya...

Selasa, 17 Februari 2009

36 Anggota DPRD (KUKAR) Menikmati (korupsi) Bansos  

0 komentar

TENGGARONG-Dana bantuan sosial (bansos) APBD Kutai Kartanegara (Kukar)2005-2006 yang menurut KPK nilainya Rp 30 miliar, tak hanya dinikmati Samsuri Aspar dan Setia Budi. Sebanyak 36 orang dari 40 anggota DPRD Kukar diduga ikut kebagian. “Kasus dugaan korupsi (bansos, Red.) ini tak berhenti sampai di sini. Para anggota Dewan yang dimintai keterangan KPK pasti akan dipanggil untuk menjadi saksi di pengadilan,” kata Ketua DPRD Kukar Rahmat Santoso kepada Kaltim Post belum lama ini. Rahmat yang juga sempat kecipratan dana bansos bersama 36 anggota Dewan lainnya itu mengaku akan memberikan keterangan apa adanya di pengadilan.

Sayangnya, Rahmat tak bersedia membeberkan siapa aktor-aktor di balik kasus bagi-bagi dana bansos tersebut. “Kita akan berbicara apa adanya dipengadilan nanti,” ujarnya. Pernyataan senada diungkapkan anggota DPRD Kukar I Made Sarwa yang juga
Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Kukar. Made mengaku pernah menerima uang sekira Rp 375 juta dari rekannya sesama anggota. Namun Made tidak tahu kalau uang yang diterimanya itu diambil dari dana bansos.

“Kalau waktu itu saya tahu tidak mau ambil. Tahu-tahu saya dikasih uang dua kali. Pertama berupa cek dan yang kedua uang kontan. Jumlah saya lupa. Saya terima katanya dari Bapak (Bupati Kukar Syaukani HR yang sekarang non-aktif,Red.),” kata Made seraya menyebutkan nama rekan anggota DPRD berinisial Kh yang memberinya uang.

Made mengira bahwa uang yang diterimanya itu bonus dari Syaukani-Samsuri yang terpilih menjadi bupati dan wakil bupati Kukar. Karena seluruh anggota Dewan menerimanya kecuali tiga orang dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS),HM Ali Hamdi, Suriadi, dan Saiful Aduar. Sedangkan seorang lagi adalah Jumarin Thripada dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang saat baru terjadi Pergantian Antar Waktu (PAW) dari anggota sebelumnya. Sedangkan dua anggota dari PAN lainnya HM Irkham dan Marwan ikut menerima.
“Yang saya dengar PKS memang tidak menerima,” jelas Ketua Komisi III DPRD Kukar itu. Karena uang yang diterimanya itu belakangan bermasalah akhirnya Made pun harus mengembalikannya. Mantan Dandim Tenggarong itu mengaku harus pinjam uang ke bank untuk mengembalikannya dengan cara dicicil.

Sebelumnya Irkham yang juga Ketua Fraksi Amanat Kesejahteraan Rakyat (AKR) DPRD Kukar itu mengaku terima uang yang belakangan diketahui dana bansos. Ia mengetahuinya setelah diperiksa penyidik KPK di Polres Kukar. Karena yang
dia tahu uang itu adalah pemberian dari Syaukani. “Pak Kaning (Syaukani, Red.) itu ‘kan orangnya baik. Banyak pejabat dan masyarakat yang dinaikkan haji atau umrah. Uang itu saya kira pemberian Pak Kaning kepada anggota DPRD secara pribadi. Saya tidak akan terima kalau uang itu dari bansos,” tegasnya.

Bahkan Irkham merasa tertipu setelah mengetahui bahwa uang yang sudah habis
digunakan untuk kepentingan pribadinya itu ternyata uang bansos. Ketua DPD PAN Kukar itu mangaku hanya diberi Rp 175 juta. Namun KPK meminta agar dirinya mengembalikan sebesar Rp 375 juta sesuai data yang tertera di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dimilikinya.

Beberapa anggota DPRD yang mengaku sudah melunasi adalah Bachtiar Effendi, Syarifuddin, Mahdalena, Irwan Muchlis. Sedangkan yang lainnya banyak yang tak bersedia dimintai keterangan. Namun sebagian besar sudah mengembalikan uang ke kas daerah di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kaltim Cabang Tenggarong. Terbukti beberapa anggota Dewan menyerahkan bukti penyetoran uang kepada penyidik KPK di Polres Kukar dengan total Rp 6 miliar (sumber: Kaltimpost - Jumat, 1 Agustus 2008)
Selengkapnya...

Jumat, 13 Februari 2009

Kesandung Korupsi, Caleg Partai Demokrat Ditahan  

0 komentar

Tuban - Cita-cita Heri Susanto (32) menjadi anggota DPRD Tuban bakal berantakan. Pasalnya calon legislatif (caleg) Partai Demokrat dari Jatirogo ini dijebloskan tahanan karena kesandung kasus korupsi senilai Rp 129 juta.

"Kami tetap memproses tersangka sesuai aturan hukum yang berlaku," kata Kaur Binops Reskrim Polres Tuban, Iptu Budi Santoso kepada wartawan yang menemuinya di Mapolres Tuban, Senin (12/1/2009).

Menurut Budi Santoso, penahanan dilakukan agar tersangka yang juga karyawan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Kharisma Sejahtera Jatirogo tidak kabur, sekaligus untuk mempercepat proses penyidikan yang dilakukan petugas.

Informasi yang dihimpun detiksurabaya.com menyebutkan, kasus ini bermula ketika Heri Susanto tidak menyetorkan angsuran kredit dari nasabah kepada BPR tempat dia bekerja.

Aksi menggelapkan dana milik nasabah ini, terbongkar ketika ada nasabah tetap ditagih oleh BPR, padahal sudah membayar cicilan melalui Heri Susano.

Mengetahui stafnya nakal, pihak BPR telah memberi toleransi agar uang yang dimakannya' segera dibayarkan. Akan tetapi nampaknya, respon kekeluargaan itu tidak disambut baik oleh Heri Susanto. Akibatnya ia dilaporkan ke polisi, hingga kini menjalani proses hukum di Mapolres Tuban.

Sementara itu, sejumlah warga Jatirogo yang ditemui menyatakan, sebenarnya Heri Susanto termasuk tokoh muda berpotensi di wilayah setempat. Sebagai politisi dari Partai Demokrat, ia sudah dikenal luas di wilayah Kecamatan Jatirogo dan sekitarnya.

"Kalau tidak kena masalah hingga ditahan polisi, mungkin dia bisa jadi anggota DPRD dalam Pemilu nanti. Heri dikenal luas oleh masyarakat di Jatirogo," kata Imam Jazuli (37), warga Jatirogo yang ditemui di Desa Sadang, Kecamatan Jatirogo.

Apalagi, ungkap dia, Heri Susanto menempati daerah pemilihan Jatirogo dan dia termasuk aktif dI partai. Selama ini, sebagai caleg nomor urut 1, ia aktif terjun ke lapangan melakukan sosialisasi terhadap pencalegannya.(gik/gik)

Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!


Selengkapnya...

Selasa, 10 Februari 2009

Skandal Panas DPR RI  

0 komentar



Gara-gara uang haram, Amin mungkin tak pernah membayangkan titian kariernya sebagai politikus akan sampai di ujung sebelum waktunya. Biasanya, kalau satu borok besar terkorek, borokborok kecil lainnya yang tertutup akan terbongkar. Suami pedangdut Kristina ini dicokok oleh KPK di Hotel Ritz Carlton, Rabu (9/4), terkait dengan suap yang diterimanya untuk proses pengalihan fungsi hutan Kabupaten Bintan.
Bersama Amin ditangkap pula Sekretaris Daerah Bintan, Azirwan. Seperti diketahui, hutan lindung di Desa Bintan, Buyu, Kecamatan Teluk Bintan, seluas 8.300 ha sebagian besar pohonnya telah ditebang untuk keperluan pembangunan Kantor Pemerintah Kabupaten Bintan, akan dijadikan pusat kota, dan hutan ini juga telah beralih fungsi menjadi hutan tanaman industri.
Untuk memperlancar proses pengalihan itu Azirwan telah menyetorkan uang secara bertahap kepada Amin lebih dari Rp3 miliar. Dasar moral jeblok, selain duit Amin, anggota Komisi IV juga minta disediakan perempuan oleh Azirwan, dalam percakapan telepon mereka.
Sebelum Amin, ada lagi cerita yang lebih hot, seputar anggota dewan yang terhormat. Bukan menyangkut duit tapi perempuan. Sosok itu tak lain daripada Max Moein asal PDI Perjuangan. Foto mesra bertelanjang dada anggota Komisi IX dengan sekretarisnya, Desi Vidiyanti, di sebuah kamar itu beredar kemana-mana. Semula Max membantah dengan mengatakan foto mesra itu bukan di kamar tapi di kolam renang. Namun itu terbantah karena tidak ada latar belakang kolam. Max terus berkelit. Katanya foto itu diambil di sebuah ruang ganti di kolam renang. Namun apapun alibinya, belakangan ia pun mengaku

Kalau ingin mengikuti track record, turutilah track record yang baik, bukan sebaliknya. Amin dan Max rupanya lupa berkaca dari kasus yang menimpa Yahya Zaini dan Maria Eva pada akhir November 2006. Politikus asal Pohon Beringin ini tampak jelas dalam rekaman video beradegan mesum dengan Eva di sebuah kamar. Akibatnya, karier politik yang dirintisnya dengan penuh perjuangan meredup. Bahkan, stasiun televisi swasta sudah menayangkan 42 detik adegan ranjang dirinya dan pasangannya yang direkam pada 2004. Ia menghindari pers sejak pulang dari kunjungan dinas ke Australia pada 1 Desember 2006. Menurut pengakuan Maria Eva, hubungan tersebut dilakukan tanpa pernikahan dan ia sempat mengandung janin bayi hasil hubungan tersebut, yang kemudian digugurkan.
Setelah menjadi bulan-bulanan pers, Yahya memutuskan mundur dari jabatan kepartaian. Ia mengundurkan diri sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Bidang Kerohanian. Surat pengunduran diri tertanggal 4 Desember 2006 diterima Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono.

Kotor
Tepat sehari sebelum foto syur Max Moein dilansir media cetak, di Tugu Proklamasi Jakarta dideklarasikan Gerakan Nasional Anti-Politisi Busuk. Dalam deklarasi yang digagas sejumlah LSM itu, masyarakat diminta tidak memilih, mendukung, atau mendanai politikus busuk dalam pemilu 2009. Yang dimaksud politikus busuk adalah mereka yang diketahui terlibat atau mendukung mereka yang melakukan praktik-praktik kotor, terlibat dalam pelanggaran HAM, juga dalam konteks ekonomi, sosial, budaya, termasuk yang setuju dengan kenaikan BBM, tindak pidana korupsi, perusak lingkungan hidup, dan sebagainya.
Tapi politikus busuk menurut Mohammad Nurfatoni, bukan itu saja, tapi termasuk juga para anggota atau calon anggota dewan yang terlibat kasus-kasus mesum semacam Yahya Zaini atau Max Moein.
“Kita tentu akan mendukung gerakan ini, karena akan menjadi peringatan bagi partai politik untuk lebih selektif dalam menyusun daftar calon legislatif sekaligus menjadi terapi kejut bagi para caleg yang tidak memiliki
kredibilitas dan integritas agar tidak berani mencalonkan diri,” tegasnya.
Hanya saja yang perlu diingat adalah meskipun pada saat menjadi caleg mereka tidak termasuk politisi busuk, tetapi bisa saja ketika sudah terpilih menjadi anggota dewan mereka mengalami proses pembusukan. Ini terkait dengan ketidakmampuan mereka memegang amanah ‘tahta’ yang diberikan rakyat, karena ‘tahta’ itu justru didayagunakan untuk mengeruk ‘harta’ secara ilegal dan menyelingkuhi ‘wanita’!
Terkait itu, Nurfatoni mengingatkan sebuah falsafah betapa kuatnya tiga godaan bagi mereka yang sedang mendaki jalan sukses politik, yaitu tahta, harta, dan wanita (tiga ta). Kini, ‘tiga ta' bukan dianggap sebagai godaan yang perlu disikapi secara hatihati melainkan justru dijadikan sebuah cita-cita secara salah. Jika tahta, yaitu kedudukan terhormat sebagai pejabat negara DPR, sudah diraih maka terbukalah lebarlebar kesempatan untuk menumpuk harta dan menggait wanita, meskipun dengan memanfaatkan jabatan dan kedudukannya secara tidak bermoral! Apa yang tidak bisa dilakukan oleh seorang anggota dewan yang punya kehormatan, kedudukan, uang, dan ber bagai fasilitas itu? Bukankah dari beberapa kasus asusila anggota dewan tidak jauh dari korupsi dan perselingkuhan serta pelecehan.
Menurut Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS), Tiurlan Hutagaol masalah korupsi dan kasus pelecehan seksual yang dilakukan anggota DPR telah merusak citra lembaga DPR. Oleh karena itu, menurut Tiurlan, ke depan partai politik dalam merekrut calon legislatif harus secara sungguh-sungguh memperhatikan in tegritas dan moral dari para caleg. Di samping itu, calon legislatif harus memiliki kapasitas intektual yang bagus.
Dia juga meminta masyarakat agar memilih caleg yang memiliki integritas moral, intelektual. Untuk mengantisipasi kasus korupsi termasuk pelecehan seksual angota DPR, maka sejak awal partai politik yang mencalonkan perlu memperhatikan aspek moral dan integritas caleg.
Sebagai contohnya, bila sesorang yang menjadi caleg mengeluarkan uang yang cukup banyak maka tatkala caleg terpilih terpilih akan berpotensi melakukan korupsi."Sekurang-kurangnya menjadi mata duitan," katanya. Sebab itu, kata Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Syarif Hasan untuk mengantisipasi terulangnya kasus mencederai citra anggota DPR seperti kasus korupsi dan pelecehan seksual maka setiap pribadi anggota DPR dan setiap fraksi di DPR memiliki tanggung jawab untuk menegakkan kode etik DPR. "Silakan masing-masing fraksi memberikan sanksi kepada anggotanya yang melakukan tindakan melanggar kode etik anggota DPR," kata Syarif
Sedangkan anggota BK dari Fraksi PDI Perjuangan, Agung Sasongko berpendapat, pada prinsipnya BK hanya menjaga citra anggota dan lembaga DPR. Selama ini BK menindaklanjuti setiap pengaduan masyarakat terhadap anggota DPR yang diduga melanggar kode etik DPR. "BK itu memproses setiap anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran kode etik DPR berdasarkan aduan masyarakat," kata Agung. Sekjen Forum Masyarakat Peduli
Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang mengatakan, BK sebagai penegak citra dewan seharusnya pro aktif untuk menindak anggota DPR yang melakukan pelanggaran kode etik seperti korupsi dan pelecehan seksual. "Setiap anggota dewan yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik harus ditindak dan diberi sanksi," kata Sebastian. Akhirnya Golput Dekadensi moral yang kian sering dipertontonkan anggota DPR dikhawatirkan memicu masyarakat memilih Golput dalam pemilu. Jika pada Pemilu 2004 jumlah Golput tercatat sekitar 34 juta orang, maka pada pemilu mendatang bukan tidak mungkin angka itu akan bertambah secara signifikan. Kemungkinan tersebut memang mengenaskan.

Persoalannya, telah sama-sama mahfum bahwa Pemilu 2004 sebenarnya telah ‘dimenangkan' Golput, bukan partai politik yang berlaga dalam pemilihan. Betapa tidak? Partai Golkar sebagai partai pemenang pemilu saat itu saja hanya menangguk suara 24 juta, jauh di bawah jumlah Golput. Rentang perbedaan suara Golput dengan pemenang Pemilu 2004 yang mencapai 10 juta pemilih ini menegaskan pertanda bahwa sebetulnya partai politik yang ada bukanlah pilihan yang menarik bagi masyarakat.
Maka ketika kondisi DPR kini begitu karut marut dan selalu membuat rakyat mual dengan aneka pengkhianatan atas amanah yang mereka emban, wajar bila keyakinan akan makin berkembangnya golput itu pun semakin menguat. Lihatlah, sementara masyarakat sulit mencatat prestasi legislasi para politisi Senayan, dengan gampang rakyat menunjuk aneka kedegilan yang terbongkar di lembaga terhormat itu.
Tahun ini saja, paling tidak terkuak urusan korupsi yang membenamkan Al Amin Nur Nasution, anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, ke ruang sempit kamar tahanan sejak 9 April lalu. Kasus paling mutakhir, saat Bulyan Royan, anggota Fraksi Partai Bintang Reformasi, tertangkap tangan dengan uang suap sebesar US$ 66.000 dan 5.500 euro, sebuah jumlah uang yang pasti terlalu besar untuk dibelanjakan di Plaza Senayan, tempat anggota dewan yang terhormat itu dicokok tanpa kehormatan.
Belum lagi kasus aliran dana BI senilai Rp 31,5 miliar yang disebutsebut sebagai biaya sosialisasi UU BI dan penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas BI. Kasus itu kini telah menyeret dua orang anggota dan mantan anggota DPR, Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yamdu, ke kamar tahanan.

Tentu saja masyarakat tidak akan menutup mata atas kemungkinan besar bahwa masing-masing kasus tak hanya melibatkan Amin dan Bulyan Royan semata.
Melihat posisi keduanya yang bahkan sama sekali tidak dikenal publik sebelum kasus-kasus itu muncul, terlibatnya nama-nama anggota DPR lain adalah sangat mungkin. Apalagi selama proses penyelidikan pun Amin selalu menyatakan bahwa dirinya lebih sebagai pihak yang mewakili rekanrekannya sesama anggota Komisi DPR untuk mengambil komisi dari Pemda Bintan terkait alih fungsi lahan hutan lindung tersebut. Dengan kata lain, nyaris bisa dipastikan bahwa Amin dan Bulyan tak sendirian dalam kasuskasus mereka itu.
Besar kemungkinan ada banyak wakil rakyat lain yang terlibat. Bila kalangan legislatif saja sudah terlibat, rasanya sangat tidak mungkin kebusukan yang sama tidak melibatkan kalangan eksekutif. Karena itu, berbagai saran agar KPK mengembangkan penyidikan ke semua komisi DPR dan mitra-mitra kerja me reka tentu sangatlah argumentatif. Karena itu, keyakinan bahwa tertangkapnya Amin dan Bulyan hanya sekadar ‘konfirmasi' atas maraknya praktik korupsi di DPR, tampaknya benar adanya.
Dari terma dan istilah yang sering dipakai anggota DPR saat mengobrol dengan kolega-kolega mereka, sebenarnya sejak lama bau tak sedap praktik korupsi di Senayan, sudah sangat menyengat.

Belum lagi kalau bicara soal lain yang tak kalah degilnya, yakni moralitas anggota DPR dalam soal perempuan. Masih hangat dalam ingatan masyarakat soal kasus perselingkuhan bekas anggota DPR Yahya Zaini de ngan penyanyi dangdut Maria Eva.
Hari-hari kita di pekan terakhir ini pun masih dipenuhi aneka pemberitaan media massa soal Max Moein. Untuk Bung yang satu ini, urusannya tidak sekadar terekam te ngah memeluk seorang gadis yang hampir bugil, tetapi ia juga harus menghadapi tudingan berbagai pelecehan seksual dari bekas sekre tarisnya di DPR. Kasus-kasus itu tentu saja makin menguatkan kesan busuk rakyat terhadap anggota DPR.
. tbr
Selengkapnya...

Ketua Partai Demokrat Jambi Ditahan Terkait Korupsi  

0 komentar

Jum'at, 02 November 2007 06:27
Kapanlagi.com - Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Jambi, As`ad Syam yang juga mantan Bupati Muarojambi, ditahan Kejaksaan Negeri (Kejari) Muarojambi terkait kasus dugaan korupsi jaringan listrik PLTD Sungai Bahar senilai Rp4 miliar tahun 2004.

Tersangka As`ad Syam kembali masuk kedalam Lapas, Kamis pukul 14:00 WIB setelah jaksa penyidik Kejati Jambi melimpahkan berkasnya ke jaksa penuntut Kejari Muarojambi, kata Kapenkum Kejati, Andi Azhari SH.

Penahanan tersangka As`ad adalah yang kedua kalinya setelah pada tahap penyidikan ditahan Kejati namun mantan bupati itu dapat bebas demi hukum karena masa tahanannya habis dan tidak diperpanjang oleh Pengadilan Negeri Jambi.

Pada pelimpahan tahap II yakni tersangka dan barang bukti dari penyidik Kejati ke jaksa penuntut Kejari Muarojambi, tersangka harus ditahan kembali ke dalam lapas.

Penahanan itu adalah wewenang kejaksaan negeri setempat yang akan menyidangkan kasus tersebut, kata Andi Azhari.

Kasus dugaan korupsi PLTD Sungai Bahar Muarojambi itu telah menetapkan empat orang tersangka yakni As`ad Syam, Sudiro Lesmana, Syafaruddin dan Mucthar Muis. (*/rsd)
Selengkapnya...

Korupsi DPRD Kutai Timur  

0 komentar

Samarinda, Kompas - Berkas penyidikan kasus korupsi senilai Rp 46,6 miliar dengan tersangka mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kutai Timur periode 1999-2004 Abdal Nanang dari (PDIP)dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Sangatta. Berkas tersebut memuat 31 dakwaan dan diserahkan setelah penyidikan terhadap Abdal Nanang selesai dilakukan.

Kepala Kejaksaan Negeri Sangatta Miyanto, Selasa (21/12), mengatakan hal ini. Setelah berkas diserahkan ke Pengadilan Negeri Sangatta, menurut Miyanto, pihaknya tinggal menunggu proses persidangan kasus korupsi tersebut.

Abdal Nanang merupakan tersangka dugaan penyelewengan dana Rp 46,6 miliar tahun anggaran 2001 dan 2002 di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kaltim).

Miyanto juga menambahkan, pihaknya belum mencabut status tahanan kota Abdal Nanang. "Status Abdal Nanang sekarang ini masih sebagai tahanan kota. Kalau keluar daerah, dia langsung akan kami tangkap," tegasnya.

Masalahnya, kata Miyanto, dengan dilimpahkannya berkas penyidikan kepada pengadilan, kewenangan penahanan Abdal Nanang sekarang berada di tangan pengadilan. "Sekarang ini kewenangan penahanan ada pada pengadilan setelah berkas tersebut kami limpahkan," ujar Miyanto.

Jangan beri izin

Sementara itu, Kahal Al Bachry dari LSM Pokja 30 Kaltim mendesak agar Abdal Nanang tidak diberikan izin keluar daerah karena statusnya sebagai tersangka dan tahanan kota. Kahar mengatakan, pihaknya mendesak seluruh penegak hukum maupun gubernur agar tidak mengeluarkan izin bagi Abdal Nanang untuk meninggalkan Kota Sangatta.

Menurut Kahar, pihaknya sudah mengetahui adanya permintaan izin bagi mantan Ketua DPRD Kutai Timur tersebut untuk menunaikan ibadah haji. "Ini di luar masalah agama, semuanya murni permasalahan hukum, tidak dibenarkan seorang tahanan kota keluar dari kota," katanya.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat Provinsi Kaltim M Jauhar Effendi membenarkan adanya permintaan izin kepada Gubernur Kaltim tentang rencana Abdal Nanang untuk naik haji tersebut.

Menurut Jauhar, saat ini surat tersebut masih dikonsultasikan dengan Biro Hukum Pemerintah Provinsi Kaltim. "Belum ada keputusan atau disposisi dari Gubernur mengenai permintaan izin tersebut, masih harus dikonsultasikan dahulu dengan Biro Hukum," kata Jauhar. (RAY)


Selengkapnya...

Korupsi DPRD Kota Samarinda  

0 komentar

SAMARINDA - Praktisi hukum senior Samarinda Idrus Arsuni SH menegaskan, skandal tiket (ticket gate) PT Askes yang melibatkan 3 anggota Komisi IV DPRD Samarinda bisa dikategorikan tindak pidana korupsi, mereka adalah Blasius Watu (PDIP), Riyanto Rais, dan Pujo Utomo meminta dana pembelian tiket perjalanan dinas ke PT Askes, sangat tidak etis dilakukan anggota DPRD. Kendati, uang Rp 4 juta yang sempat dibagi tiga itu akhirnya dikembalikan lagi ke PT Askes, karena kuatnya tekanan dari komponen masyarakat.

Blasius Watu sendiri, ketika dikonfirmasi sehari sebelumnya mengaku, sama sekali tidak menyentuh uang pemberian PT Askes itu karena keburu dikembalikan oleh rekannya Pujo Utomo.

"Sebenarnya, uang sudah kita kembalikan sebelum kasusnya mencuat ke permukaan. Ketika itu, masih sebatas desas-desus di lingkungan DPRD," aku Blasius Watu.

Idrus juga mempertanyakan uang perjalanan anggota DPRD, apakah sudah memadai atau tidak. “Kenapa mereka minta lagi uang tiket ke instansi lain. Apa anggaran uang perjalanan tidak cukup, sehingga harus mencari-cari lagi uang tiket,” tegas Idrus.

Sebagai pejabat negara katanya, pasti fasilitas termasuk uang perjalanan sudah cukup. “Kira-kira etis atau tidak, masih meminta uang tiket pada instansi lain,” ujar Idrus dengan nada bertanya.

Lucu jadinya, lanjut Idrus, di tengah masyarakat yang serba kekurangan, wakil rakyatnya malah meminta uang tiket. Ia mengaku, heran apakah uang tiket yang diminta hanya untuk sekadar keperluan main-main. “Apa ada kompensasinya? Jangan sampai menimbulkan imej tidak baik. Bila memang tidak ada kompensasinya, terus uang tiket itu sebagai apa. Khawatirnya ada kompensasi, perlu ditelusuri ada apa dibalik kompensasi,” beber Idrus. Menurutnya, anggota DPRD sebagai wakil rakyat harus memberi contoh yang baik kepada masyarakat. Bukan malah sebaliknya. (eri/ar)

Original Link http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Samarinda&id=211877


Selengkapnya...